***
“we
better, make in this cafe, this is a good one, with a garden view” ucap Greyson,
menunjuk satu profile cafe, August menaikan kacamatanya, lalu meneliti, dan
mengangguk pelan.
“hem,
so, Lego Cafe?” tanya August, Greyson mengangguk. August kembali menulis di
kertas yang sudah penuh coret-coretan ini.
“are
you serious? The capicity is only like two hundred persons?” tanya August, yang
kembali meneliti cafe tersebut. Greyson menengok ke arah laptop August, dan
melihat artikel tentang cafe mereka. Greyson menghembuskan nafasnya.
“how
about this?” tanya August, memberikan sebuah tempat, kebun, luas, dengan
dikelilingi, kolam kecil.
“garden
party?” tanya Greyson. August menaikkan pundaknya. Lalu segera meneliti tempat
itu, dengan teliti.
“this,
i mean, the pond, will be fill with the candle, and there are like a fairy
lights, arount these place, and lanterns above, hows that?” tanya August, Greyson
berfikir, lalu mengangguk setuju. August langsung mengangguk, dan mulai
mencatat konsep-konsep dari pestanya.
“who’ll
you invite from Indonesia?” tanya Greyson. August berfikir sebentar, beberapa
menit August mulai memutuskan.
“maybe
just Sasta, i mean she is the one who really be my best friend, about
Indonesian Artis... yeah, they won’t be here, but Sasta, she must comes,
whatever the case, and she’ll be going to Jakarta, with me, so. You know” ucap
August, lalu kembali fokus ke dalam konsepnya. August tenggelam dengan
imajinasinya sendiri. Hingga tidak sadar Greyson memperhatikan wanita itu.
Disaat Greyson melihat, jidat August berkerut, lau mulutnya dimiringkan
sedikit, mengatakan bahwa ada yang salah, dan rambutnya yang dikuncir ke atas
asal, melihat kemeja nya dibuka, yang menampilkan tank top nya. Greyson
tersenyum sekali lagi, lalu mengambil satu foto gadis itu.
“i
forgot you always pretty whatever the pose you are” ucap Greyson, melihat
hasilnya, terlalu manis, untuk dibilang aib.
“what?”
tanya August, lalu beranjak, melihat kamera Geyson. August melihat hasil
jepretan Greyson itu. August tersenyum melihat itu.
“i’m
always pretty” ucap August, lalu kembali ke kertas-kertasnya. Greyson memutar
matanya, lalu mulai menempeleng kepala August.
“awch!”
protes August. Greyson hanya menjulurkan lidahnya. August menatap Greyson
lurus, melihat Greyson tidak mengerjakan apa-apa. Bahkan laptopnya sekarang
sudah memunculkan tab twitter.
“seriously,
Greyson, you’re not working” ucap August. Greyson mengangkat alisnya, lalu
tersenyum.
“okay”
ucap Greyson, lalu kembali mendata, seluruh undangan yang mereka berdua akan
undang, sambil tiduran, saat heningnya, handphone Greyson berbunyi. August
mengerinyit, dan melihat ke handphonenya itu. tertulis tulisan Olivia. August
menghembus, mengambil telponnya, dan melempar ke Greyson, yang asik dengan lagu
yang terputar dari iPod August. August menglirik sebentar lagu apa itu, ternyata
lagu Conor Maynard, Can’t Say No. August mengerinyit heran, menatap Greyson
yang sedang menjawab telponnya.
“you
are so gay Greyson” guman August, menatap sahabatnya yang berjoget kecil
mendengarkan lagu itu, memang, lagu itu enak untuk menggoyang tubuh, tapi untuk
seorang lelaki.... dan juga Greyson. itu aneh, sangat super aneh, untuk lelaki
yang menyukai lagu-lagu sejenis band indie, atau lagu lama. Greyson menatap
balik August, heran melihat tatapn August itu.
“hello,
what’s going up babe?” tanya Greyson. Greyson berdiri, dan menuju ke balkon
melihat jalanan, dan lalu berbalik, melihat August kembali sibuk dengan
MacBooknya.
“can
you pick me up?” tanya wanita itu, dari ujung telepon. Greyson mengerinyit,
tumben sekali pacarnya minta jemput. Walaupun bukan Greyson yang menyupir,
pasti supirnya, tapi tetap saja.
“oh,
okay, when’ll you going home?” tanya Greyson, Olivia memekik senang, dan
langsung memberikan tahu jam berapa Olivia di jemput. Greyson, mengangguk lalu
kembali duduk di kursi malas August.
“what
she said?” tanya August. Greyson kembali ke MacBooknya, lalu menoleh ke arah
August.
“she
asked me to pick her up, so i said yes, can we take a break?” tanya Greyson.
August menghela nafas, August tau pasti wanita itu –selalu- menggangu mereka
berdua, dalam bentuk apapun. August mengangguk lalu muali kembali ke
MacBooknya.
“maybe
you can give her like fifteen cards, to invite her friends” ucap August. Greyson
mengangguk, lalu kembali sibuk dengan laptopnya. Pent House August yang cukup luas
itu, terasa sangat hening, dengan sengatan panas matahari di atas mereka yang
sangat terik, August sibuk dengan tempat dan beberapa pemesanan makanan, dan Greyson
sibuk mendata ulang siapa yang akan diundang. Seketika pent house itu terasa
sunyi...
August masih sibuk dengan
MacBooknya, dan terpaku dalam menjelajahi beberapa cafe yang ada di Los Aneles
untuk digunakan, Greyson sedang berbaring, sambil membaca iPad nya yang menjadi
daftar undangan, saat henig dan panas tersebut, dering telpon Greyson, memecah
keheningan, keduanya sehentak, dan langsung menuju ke arah iPhone nya Greyson.
August, melirik, dan segera melihat tulisa “Olivia” August membuang matanya
untuk kembali, fokus. Greyson mengangkatnyanyalalu mulai mengangguk dan
mematikan teleponnya.
“i’m
going, take a some rest August, eat your lunch, and eat your pills too” ucap Greyson,
sambil mengacak pelan, rambut August, lalu August mengangguk, meskipun Greyson
tidak bisa melihat anggukan itu, saat pintu pent house August terdengar, August
menghela nafasnya dengan berat. August berdiri, dan mengambil Jus Alpukatnya,
dan segera berjalan ke dapur. August mengambil handphonenya, yang terlantar di
ruang tamu, dan kembali duduk di meja makannya. August mencqari-cari kontak
yang mungkin seharian kemarin dia tidak cari. Langsung memencet call, dan
mendengarkan suara telepon berbunyi.
“hi
August” sapa sebrang sana, August tersenyum, lalu mengambil satu piring pasta
yang mungkin mamanya sudah buat tadi.
“hi
babe, hows going?” tanya August, sambil mengacak-ngacak pastanya. August
mendengar suara celotehan dari latar belakang Cody, August mengerinyit, tapi
langsung membuang selintas fikiran buruk dari otaknya.
“are
you mad?” tanya August spontan, lurus ke arah Cody, memastikan tidak ada yang
salah dari Cody, karena semuanya terasa berbeda.
"no i'm not" ucap Cody datar, merasa bersalah dengan wanita yang ada di sebrang sana, Cody tersesat, tersesat dalam tornado perasaanya, tersesat dalam buaian semu yang dia terima saat ini, bahkan cody merasakan buaian semua ini nyata, dan hal nyata itu, menjadi bayangan yang maya tak tentu. Cody tidak tau, apa yang telah dia lakukan ini, adalah sesuatu hal yang benar atau tidak.
***
Greyson mengsms Olivia, kalau dia
sudah ada di depan sekolahnya Olivia, tiba-tiba Olivia langsung meng sms
menyuruh untuk masuk ke dalam sekolah, dan menjemputnya di lapangan. Greyson
menghembuskan nafasnya malas, malas kalau dia harus masuk ke public school itu
lagi, dan mendengarkan namanya dipanggil, atau dipekik girang. Greyson langsung
keluar dan mencari Olivia di lapangan yang sekolah Olivia punya, saat sampai, Greyson
langsung melihat, wanita rambut hitam itu yang berbalut seragam cheerleaders
dari SMP itu,berlari ke arahnya. Greyson tersenyum lebar, dan menyambut pelukan
gadis yang menghampirinya itu.
“hi
babe” ucap Olivia tersenyum lebar, Olivia langsung mengecup pelan bibir Greyson.
Greyson tersenyum, kecil lalu merangkul pinggang Olivia.
“are
you done?” tanya Greyson. Olivia, mengangguk, lalu Greyson segera menarik
Olivia, keluar lapangan. Olivia melambaikan tangannya ke tim cheersnya dan
langsung berjalan sama Greyson.
“can
we take a lunch? I’m hungry” ucap Olivia, Greyson berfikir sebentar dan
mengeluarkan handphonenya.
“what
are you doing?” tanya Olivia, melihat pacarnya itu langsung mengeluarkan
handphonenya daripada menjawab pertanyaannya.
“me
and August, in the middle of discussing our birthday party, i need to ask her
permission if i want to go out somewhere with you” ucap Greyson. Olivia
mendengus kesal, melihat sikap Greyson. tolong, nama wanita itu, sudah sangat
membuat Olivia muak, dia tidak ingin mendengarkan nama wanita itu, terlebih
dengan pacarnya.
“she’s
not your girlfriend” dengus Olivia, sambil berguman, menatap sinis Greyson yang
sedang menelpon August. Olivia, melepas tangan Greyson, lalu langsung masuk ke
dalam mobil Greyson, Greyson yang melihat sikap itu, mengerinyit heran dan menaikkan
pundaknya, mungkin dia ke capek an, jadi aneh.
“and
oh yeah, you can invite like fifteen or sixteen people to my birthday party”
ucap Greyson lagi. Olivia menoleh sinis ke arah Greyson.
“oh,
will August mad? Or even will she yelling at you if she knows i’m invite my
friends, to her birthday party” sindir Olivia, Greyson menatap aneh wanita itu.
“actually,
August ask me to invites your friends, Olivia” ucap Greyson, Olivia memutar
matanya.
“whatever”
guman Olivia. Greyson menggeleng heran melihat sikap wanita itu, dan kembali
fokus ke handphonenya.
***
August menghela nafas setelah
mendapatkan telepon dari Greyson, bahwa dia akan makan siang dulu, pasti itu
akan lebih lama notabene ada olivia disana. August menghenyakkan dirinya ke
atas sofa, dan menatap kosong TV itu, August kembali menerka ada apa dengan
pacarnya. Cody di telpon tadi begitu dingin, dan latar dari suara telepon
iut... terasa salah. August termenung, terlarut dalam kelutan otaknya itu.
***
“oh
my God, finally we made it!” ucap August, terhadap laki-laki itu. Laki-laki di
hadapannya itu tersenyum bahagia, dan mengangguk.
“i
love you so much August” ucap laki-laki itu lagi. August tersenyum lebar,
sangat lebar, dan menatap mata itu dengan jelas.
“i
love you, i really do” ucap sekali lagi laki-laki itu, menatap langsung August,
August terhipnotis akan kerlipan, dan sinar dari cahaya itu. August tertarik
dalam aura yang diberikan laki-laki itu. August menutup matanya, dan merasakan,
dirinya sudah tidak memijak bumi lagi, dirinya seakan terbang, seakan sentuhan
yang dia rasakan dibibirnya, membuat dia ringan, dan dibawa oleh arus angin
yang menari diantar mereka. Rapat tubuh August dan laki-laki itu seakan tidak
ingin membagi kehangatan dengan helaian tipis sang angin. August membuka
matanya perlahan, August melihat senyuman itu, August melihat mata itu dengan
indah. August mengangkat tangannya untuk membelai pelan lelaki itu, tapi August
tercekat, melihat tangannya, disimbahi dengan darah. August menoleh ke bawah,
dan dia melihat tubuh didepannya, tidak
lah sempurna, ada darah yang keluar deras di tangan lelaki itu, August
menatap leaki-laki itu lagi. Darah segar, terhembus dari kepala laki-laki itu.
August mundur untuk beberapa langkah.
“you”
ucap August, menggelengkan kepalanya dengan kencang, menatap laki-laki itu.
“August,
don’t” ucap lelaki itu, August masih mundur perlahan.
“August”
ucapan itu memelan, August masih mundur, masih tidak akan pernah percaya dengan
apa yang ia lihat
“August”
ucapan itu membayang, August merasakan semuanya telah kembali memutih. August
melihat semunya kembali menghilang. August sadar, ini hanyalah mimpi, August
mengusahakan dirinya untuk bangun dari mimpi itu. tapi August tidak bisa,
dirinya tercekat dalam mimpinya. Hanya teriakan namanya lah yang menggema di
dalam pandangan putih itu. August menutup matanya, ingin menangis, tapi rasanya
tidak bisa, yang ada keluar rasa perih yang biasa dia rasakan, ketika
mengeluarkan darah tersebut.
“August”
“August”
***
“AUGUST!”
teriakan langsung memecah, keheningan pent house tersebut. August membuka
matanya, tapi semuanya menjadi buram, dia masih melihat Greyson di hadapannya
tapi semuanya buram.
“Greyson,
what happened?” tanya August, mati rasa, tenggorokannya kelu, menatap mimpi
itu.
“your
eyes, your bleeding again” ucap Greyson. August menatap lemah Greyson, August
ingin menutup matanya, tapi dia tidak ingin, dia tidak ingin tercegat dalam
mimpi lagi. August segera bisa merasakan ada tisu basah yang membersihkan
mukanya, dan cairan lengket mulai terasa di tulang pipinya. August melihat Greyson
sedang menanganinya. August menghela nafas berat. Menatap Greyson yang langsung
melihat, kearah luka itu, ekspresi Greyson tidak akan pernah berganti, serius,
dan ragu, August menutup matanya, dan mencengkram erat baju Greyson, menahan
perih jarum tersebut, untuk kesekian kalinya menyiksa tulang pipi August.
“what
happened?” tanya Greyson. August menunduk, tidak mengerti apa yang dia
mimpikan, mengapa lelaki itu tiba-tiba seperti itu, tidak bisa membayangkan
kenapa darah ini tetap mengrogoti dirinya.
“where’s
Olivia?” tanya August, mengalihkan pembicaraan, Greyson menghela nafas, lalu
mengangguk pelan.
“she’s
home, what hapeen?” tanya Greyson, August menggeleng pelan, sambil menunduk.
Greyson yang menatap ekspresi itu mengangguk pelan, mencoba untuk mengerti
mengapa itu semua terjadi, bukan suatu hal yang membuat Greyson terbiasa,
melihat wanita ini sudah terbanjiri oleh darah, dengan hal-hal yang tidak
jelas, tubuh August meringan, kulitnya memucat. Greyson mengelus pelan rambut
August, dan menarik diri August jatuh ke pelukannya, pelukannya begitu ringkih,
rentan akan segalanya, hening langsung terlarut dalam pent house August, hening
yang menusuk, hening yang tercipta akan darah segar yang ke luar dari air mata
August.
“August,
be strong” ucap Greyson pelan, August terdiam, dalam benaman dada Greyson.
August membungkam mulutnya dengan kencang, menahan betapa pahitnya kenyataan
yang telah dia alami, betapa pahitnya kenyataan bahwa dia bukanlah manusia yang
normal.
“don’t
give up August, i know you can make it, August, please” ucap greyson. August
mengagguk pelan, damalm bekapannya ada tetesan hangat di puncak kepalanya.
August menoleh ke atas, melihat air mata itu, keluar lagi dari mata coklat yang
selalu tidak pernah gagal membuat dia merasa aman. August menciut, melihat
tangisan itu, badan August meringsut. August membuang pandangannya
“don’t”
ucap August, menahan tangisan Greyson. Greyson menggeleng pelan, lalu menarik
August ke dalam pelukannya. August rasanya ingin menangis, berteriak, bahwa dia
tidak tahan dengan semuanya ini, dengan semua tekanan ini, dia ingin merasakan
bagaimana manusia normal hidup dengan normal. August tidak ingin seperti ini,
dia tidak pernah ingin seperti ini.
“i
will” ucap August, menatap lemah, ke tatapan mata coklat itu. Greyson
mengangguk perlahan, dan tersenyum, menggendong August, dan membawanya ke kamar
August. Greyson tersenyum, bahkan sangat manis, sanggup meyakinkan August untuk
bertahan di dunia ini lebih lama lagi, lebih kuat lagi. Greyson menidurkan di
atas tempat tidurnya, dan menatap muka pucat August.
“call
me if you need me okay?” tawa Greyson dengan senyumnya, August menggeleng,
meminta untuk Greyson tunggu disini, disampingnya. Greyson mengangguk, lalu
duduk di samping August, August tersenyum, lalu mulai menutup mataya, sambil
memgang tangan Greyson dengan kencang, sambil tersenyum lemas, August menyeret
dirinya untuk kembali ke alam bawah sadarnya. Hingga dia merasakan hawa hangat
itu ditubuhnya...
***
>>> yea mannn, part 35 is up!!!! i'm soo sorry if i'm not posting this story really quick, cause yeah, like in part 34. i'm quite busy, AND HECK YES! i'm one of student 12 senior high school jakarta B) so this is my "freshgirl" gift, to you guys, hope you like it, and as usual, thank you for wasted your time to read this story, and let me know what do you think! x
ps: i'm not quite sure when will part 36 will be post, but i hope it's soon xo
(: :D
- @Audeeyah
No comments:
Post a Comment